Jumat, 28 Agustus 2009

Bidadari Impian


Angkot kuning melesat dengan cepatnya dari tempat kos menuju kampus tercinta. Detak jantung semakin cepat tatkala makhluk kuning ini sudah memasuki area kampus. Penasaran bercampur gelisah menyelimuti ketika tampak dari kejauhan musholla fakultas yang buram karena catnya yang pudar. Cepat-cepat aku turun sembari meyodorkan uang Rp. 1500, harga yang biasa dari tempat kos. Buru-buru menuju musholla, suara nasyid melantun merdu sebagai sarana syiar dipagi hari. Dengan percaya diri aku lepaskan sepatu dan mamasuki ruang musholla, “ya…., belum datang juga” keluhku kecewa.

Pagi itu aku ada janji bertemu dengan ustadz. Feruq untuk membicarakan sesuatu yang sangat berarti dalam hidup. Harapan orang tua. Demi kelangsungan hidup kelak. Sembari menunggu kedatangan ustad. Faruq, aku langsung shalat Dhuha kebetulan wudhu belum batal. Ba’dah shalat aku berdo’a Tuhan…. Beri satu bidadari antukku, Bidadari bermata jeli, Bidadari yang dapat membahagiakanku

Tuhan….Turunkan bidadari dari syurgamu untukku, Sebelum bidadari dunia menambat hatiku, Sebelum bidadari dunia mengambil hatiku. Tuhan…. Do’aku penuh harap seusai shalat dhuhaku.

”Assallamu’alaikum… apa kabar ya akhi” sapa seseorang membuyarkan lamunanku seusai berdo’a penuh harap.

”Wa’alikummussallam…. Alhamdulillah ana bikhoiir… ” Jawabku. Suara itu rasanya tak asing bagiku. Ya…, suara ustadz Faruq. ”Gimana akhi, udah siap nikah” sambil tersenyum padaku ”Insya Allah ustadz” jawabku sambil malu-malu. Merah merona diwajahku yang putih berseri.

”Nih ambil dan tolong dibuka dan dibaca serta dipertimbangkan lagi,. kalau sudah, ntar hubungi ustadz ya…. ” kata ustadz Imam sambil menyodorkan amplop putih besar ke arahku.

“Ya ustadz ana akan segera menghubungi ustadz secepatnya” jawabku dengan semangatnya sembari mengambil amplop yang disodorkan itu. “Ana sekarang masih ada urusan jadi ga’ bisa lama-lama di sini, jangan lupa ya, ditunggu konfirmasinya, wassallamu’alaikum…,” salam ustadz menyalami tanganku dan berlalu dari hadapanku. Duh.. senangnya aku, akhwat seperi apa ya kira-kira yang akan menjadi calon istriku. Congkakku muncul. Aku menghayal-khayal sambari melantunkan nasyid “Adalah Engkau” dari Jasmine

Adalah engkau, dia yang ku rindu…Tuk menjadi bunga dihatikiu

Menjadi penyejuk kalbu deperjalananku…

Diperjalananku…

Tibalah waktu yang lelah kurindu

Tuk selalu bersama denganmu

Telah terbuka pintu itu

Akad pun terucap sudah

Dinda marilah melangkah…

Dinda….,

Temanilah aku

Disetiap detikku

Dengan doamu..

Bila terpisahkan waktu

tetaplah di sini didalam hatiku

ya rabbi izinkanlah kami

untuk terjaga selalu dijalan mu

dinda doamu laksana pelapas dahaga dilelahnya jiwa

lelelahnya jiwa…

“Assallamu’alaikum…” salam itu membuyarkan khayalanku yang nyeleneh. Dua saudara sehalaqahku mendekati dan menyalamiku. “Wa’alikum salam” “Akhi selamat ya, katanya mau nikah, amplopnya udah dikasih” “Udah…,” seruku sembari menunjukkan amplop ditangan yang terpegang kuat “Ana kira belum dikasihkan, kalau belum di sini ada bidadari akh” Darahku langsung berdesir mendengar kata bidadari. Kesannya indah. “Sini, ana tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian, aktivis kampus, koordinator akhwat kampus, akhlaknya mengagumkan, ibadahnya tak diragukan. Dia pembina adik ana. Cocok banget sama antum!” kawanku menjelaskan panjang lebar, membuatku penasaran.

Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Tak lama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas. “Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling ga, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black sweet sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweetnya.” Dia menggerutu dalam hati. Tak berminat meneruskan percakapan. “Udah ana ke Net Centre dulu, bidadarinya buat antum aja” tuturnya sambil berlalu.

“Wah…, ga’ akh, itu mah ga selevelan ma ana” “ya udah, sama antum aja ga’selevelan apalagi ama ana” “Ga’ sekufu gitu lho…” seru kami berbarengan. Masa’ yang gitu buat ana. Hidung ana yang mancung, kulit yang putih, tubuh atletis, badan lumayan tinggi, rambut lurus walau agak ikal-ikal sedikit, dan yang pastiprestasi akademis lumayan memuaskan IPK diatas tiga koma lima. Rugilah dapat yang kayak gitu. Congkak kembali meninggi

Aku menuju Net Centre bukan tujuan mau browsing or catting. Tapi satu, baca dan buka amplop dari ustadz. Imam. Ya…, Cuma itu Dengan jantung yang berdetak kencang, keringat mulai mengalir, dan dengan tanganku yang gemetar aku membuka amplopnya dan membaca biodatanya. “Bismillahirrahmanirrahim…, akhwat luar biasa, kuliah di Fakultas Kedokteran Pendidikan Dokter Umum, usianya lebih mudah beberapa tahun dariku, anak bungsu, koordinator akhwat kampus, prestasinya luar biasa baik di luar maupun didalam kampus.”

“Subhanallah…, sepertinya cocok bagiku dan tentunya bunda dan ayahanda akan bangga jika aku mendapatkannya sebagai mantu mereka” harapku Dengan keringat bercucuran aku perlahan-lahan mengeluarkan sesuatu yang sangat menentukan bagiku. Foto akhwat itu, perlahan dan gemetaran aku mengeluarkannya. Bismillah…, Allahuakbar…, seketika itu daun serta bunga yang lagi berseri di hatiku layu dan rontok satu-persatu. Layu…, layu….., terbang dan hilang, menjadi buram…. Dan aku kembali mengeluh. Kenapa sich ustadz tega nyariin ana akhwat yang kayak gini. Ustadz tega amat ma ana. Kalau akhwat yang kayak gini, aku sich bisa nyari sendiri. Ga’usah pake’ngerepotin orang lain.

Ustadz…ustadz…, tega amat sich. Sombong dan congkaknya kembali muncul. Terbayang akhwat yang black ga’ ada sweetnya sedikitpun yang dia lihat bersama teman sehalaqahnya dimusholla Fakultas tadi pagi. Dikeluarkannya foto dirinya dari amplop itu. Foto yag luar biasa dengan hidung mancung,kulit putih, badan atletis, rambut yang lurus, dan lain-lain. Dengan senyum, dan lesung pipit terbaiknya, maklum foto studio gitu…

Dia keluar dari Net Centre dengan badan lunglai. Salahkah aku kalau mencari akwat yang cantik dan solehah ? gumamnya sambil berlalu.


Note :

dijalan dakwah Cuma hanya ada dua pilihan. Kita melebur bersama Dakwah dan dakwah melebur bersama kita. Ingat kita yang membutukan Dakwah bukan Dakwah yang membutuhkan kita. Tidak ada pilihan yang lain. Wallahu’alam bishawab


Gunz-Oi

Kutipan...

1 komentar:

lela'site mengatakan...

kutipan dari mana nih, nulis sumber itu yg lengkap. ntar di sangka karya pribadi. kok nama ustadznya ganti-ganti. tadi ustadz faruq eh, terakhir jadi ustadz imam?