Rabu, 23 Desember 2009

SEBAB MEKARMU HANYA SEKALI

[1]
Ketika angin zaman menerpamu
Di atas cadas ataupun lumpur cemar
Teruslah mewangi wahai kuntumku
Tetaplah indah di padang liar
Hingga kaulah yang akan dipetik
Sebab mekarmu hanya sekali!

[2]
Setetes cinta yang tertawan
Dan benih kasih yang tersipu
Berbalut asa dan doa
Hingga tibalah tiupan ruh
Jadilah,... Maka jadilah kamu!

[3]
Ilalang yang terhampar
Desau angin dan dengung kumbang-kumbang
Angin zaman memang telah berubah arah
Sampai waktu milikmu akan tiba
Jangan pernah hilang wangimu tersia-sia

[4]
Telah puas kau jaga
Mekarnya kuntum nan dinanti
Wangi bertabur sari madu
Pesona bening takkan pernah terganti
Ilalang iri belalang dan kumbang menanti

[5]
Cahaya cinta yang diberkati
Dibalut karunia dan ridha Ilahi
Inilah hari yang dinanti
Ketika madu suci temukan kumbang sejati
Menjaga dan memiliki wangimu dengan namaNya

Sebab Mekarmu Hanya Sekali
Penulis :
Haikal Hira Habibillah
www.alsofwah.or.id
http://gunz-oi.blogspot.com/

Selasa, 22 Desember 2009

PUISI TERAKHIR RENDRA

'TUHAN, AKU CINTA PADAMU..'
Novi Christiastuti Adiputri - detikNews Jumat, 07/08/2009 09:31 WIB


Jakarta - WS Rendra tetap berkarya meski dirawat di rumah sakit karena sakit jantung koroner. Puisi terakhir Rendra menghadirkan nuansa religius yang dalam, yang mengisyaratkan kecintaan pada Sang Pencipta.
"Tuhan, aku cinta padamu..." demikian penggalan puisi yang tak diberi judul itu. Puisi terakhir ini ditulis Rendra pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga.Teks puisi bertulis tangan itu diperlihatkan di rumah duka di Bengkel Teater, Citayam, Depok, Jumat (7/8/2009). Berikut teks puisi tersebut

Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga (nvc/nrl)

PESAN RENDRA: PEJUANG HARUS MAU SUSAH
Mega Putra Ratya – detikNews, Jumat, 07/08/2009 10:39 WIB


Jakarta - Selain seniman dan budayawan, WS Rendra juga dikenal sebagai aktivis yang gemar demonstrasi. Hingga tahun 90-an, pria yang dijuluki Si Burung Merak itu masih sering turun ke jalan.
"Dulu dia selalu bilang, kalau jadi pejuang harus mau susah. Itulah pesannya," kata Adnan Buyung Nasution saat melayat sahabatnya itu di Bengkel Teater Rendra, Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8/2009).
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu terlihat sangat sedih dengan kepergian Rendra. Saat tiba di tempat Rendra disemayamkan, mantan pengacara senior itu sudah tampak berkaca-kaca.
Buyung juga terlihat terbata-bata saat mengucapkan kata-kata bela sungkawa. Sesekali, air mata menitik di pipinya. "Saya sempat menengok waktu Rendra sakit, kita harus mendoakan agar diterima dan diampuni dosanya," kata Buyung mengakhiri kata-katanya.

(ken/ndr)

Obituari
HIDUP BUKANLAH UNTUK MENGELUH DAN MENGADUH
Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009 | 05:29 WIB

KOMPAS.com — ... Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/Hidup adalah untuk mengolah hidup/bekerja membalik tanah/memasuki rahasia langit dan samudra/serta mencipta dan mengukir dunia/Kita menyandang tugas/kerna tugas adalah tugas/Bukannya demi surga atau neraka/Tetapi demi kehormatan seorang manusia//Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu/meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu/Kita dalah kepribadian/dan harga kita adalah kehormatan kita/Tolehlah lagi ke belakang/ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya....
Dalam percakapan lewat telepon, 4 Agustus lalu, Ken Zuraida, istri budayawan WS Rendra, mengabarkan, ”Mas Willy pulang pukul lima hari ini,” dengan nada riang. Saat itu, Rendra sudah hampir sebulan dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Penyair berjuluk ”Si Burung Merak” itu, ujar Ken, tidak akan pulang langsung ke Bengkel Teater Rendra di Cipayung, tetapi menuju rumah Clara Shinta di Depok. ”Mas Willy masih harus kontrol. Nanti ada perawat yang menemani,” kata Ken.
Kami benar-benar tak bisa menangkap isyarat nasib. Kamis (6/8) pukul 22.00, Rendra benar-benar pulang untuk selamanya di RS Mitra Keluarga. Tentu ia pergi dengan kepak sayap burung meraknya yang ”jantan” dan perkasa.
Sebagaimana puisi yang berjudul ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” yang ditulis Rendra tahun 1970-an, hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh dan bukan pula demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia. Meski ia telah tua dan reyot pada usia 74 tahun, ia menyeru harga kita adalah kehormatan kita.
Rendra, bagi kita, bukan sekadar penyair dan dramawan, ia tegar sebagai manusia dan berani menantang zamannya. Dramawan dan novelis Putu Wijaya yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra semasa di Yogyakarta mengatakan, Rendra guru yang memberikan ilmu, sahabat yang bisa diajak becanda, sekaligus musuh yang menjadi sparing partner. ”Murid yang baik adalah murid yang mampu naik ke atas kepala gurunya. Itu selalu kata Mas Willy,” ujar Putu Wijaya.
Putu adalah mantan murid Rendra yang kemudian mendirikan Teater Mandiri. Tentu ungkapan Rendra tidak bermaksud mengajarkan ketidaksopanan kepada seorang murid, tetapi alangkah indahnya jika prestasi murid jauh melebihi gurunya. Putu dengan Teater Mandiri barangkali telah menjadi prestasi lain dalam prestasi dunia perteateran di Tanah Air.
Penyair Sapardi Djoko Damono menuturkan, Rendra adalah ”tukang kata” yang telah menyihir dirinya memasuki dunia sunyi seorang penyair. ”Ia telah meyakinkan saya untuk bisa dihayati penyair tak boleh berlindung di balik bahasa yang ruwet, hanya dengan demikian kata bisa unggul dari bedil,” kata Sapardi.
Pernyataan itu menjelaskan kepada kita bahwa Rendra sesungguhnya bukan sekadar penyair atau dramawan. Ia memperjuangkan hakikat manusia ”bebas”, yang senantiasa berpikir mandiri, tanpa mau ditekan atau dipengaruhi oleh kekuasaan. Itulah yang bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1975 sepulang dari bersekolah di American Academy of Dramatic Art, New York, Amerika Serikat, ia menggelar Perkemahan Kaum Urakan di Parangtritis, Yogyakarta.
Peristiwa itu selalu dikenang Rendra sebagai gerakan penyadaran kebudayaan. Ia selalu mengatakan, ”Posisi seorang budayawan yang ideal itu tidak berpihak pada apa pun atau siapa pun, akan tetapi pada kebenaran.”
Maka dari situ kita bisa memahami secara lebih utuh mengapa Rendra menulis sajak-sajak yang dicap sebagai sajak pamflet, yang tidak jarang membawanya berurusan dengan penguasa. Bisa pula dimengerti mengapa ia selalu menuliskan dan mementaskan drama-dramanya yang sarat akan kritik terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
Tentu tak seorang lupa akan pementasan drama Panembahan Reso pada pertengahan tahun 1980-an, yang tidak saja berdurasi lebih dari tujuh jam, tetapi juga mengkritik dengan cara menyindir kekuasaan yang absolut pada saat itu.
Kini ”Si Burung Merak” boleh pergi, boleh berkubang tanah, tetapi segala hal yang pernah dia kerjakan tidak akan mudah dilumerkan oleh zaman. Rendra tetap ada dalam catatan hari-hari kita menjalani hidup sebagai manusia Indonesia...(CAN/THY/IAM)

dikutip dari :
http://pks-jogja.org/detail.php?ID=1363&cat=Artikel